Jumat, 25 Maret 2011

'Freedom West Papua' di Riau

Saya, Aang Ananda Suherman, dan Made Ali ada di bandara Sultan Syarif Kasim II Minggu pagi (20/3). Kami menanti kedatangan tamu dari Aliansi Mahasiswa Papua. Tepat pukul 09.00 dari jalur kedatangan, muncul seorang gadis bersepatu sport putih, bercelana jeans biru, berbaju putih dibalut jaket biru dongker bergaris merah kuning hijau di lengannya. Rambutnya keriting sepinggang yang dipelintir, kulitnya hitam. Ia menyandang tas ransel abu-abu serta menjinjing tas laptop ungu. Kami langsung berjabat tangan. Ia senyum. Deretan gigi putihnya kelihatan. “Heni Lani,” katanya memperkenalkan diri. Nada bicaranya tegas. “Suasana di Pekanbaru hampir sama dengan Jayapura, agak panas,” ujarnya sembari kami beranjak pergi meninggalkan bandara.
Kami bercerita sepanjang perjalanan dari bandara ke Sekretariat Bahana Mahasiswa Universitas Riau. Heni Lani berasal dari Wamena, Papua. Lani nama sukunya. Kini ia kuliah di Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB) semester enam. Heni datang ke Pekanbaru atas nama Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), sebuah organisasi pro kemerdekaan terdiri dari mahasiswa Papua di Pulau Jawa-Bali. Tak hanya Heni, beberapa anggota AMP hari itu serentak berkunjung ke berbagai daerah di Indonesia. Semarang, Bali, Yogyakarta, Flores, Kupang. Heni bilang, ini pengalaman pertama AMP diskusi soal Papua di luar Pulau Jawa. Heni sendiri baru pertama kali ke Pekanbaru. “Tak ada teman di sini,” akunya.

Kamis, 24 Februari 2011

Meretas Pangkalan Data Mendunia


SELAMAT datang di www.melayuonline.com. Situs dunia melayu se-dunia. Demikian sebait kalimat yang tercantum di bagian atas portal melayuonline.com. Di bawah kalimat tadi ada lagi dua kalimat bergerak: Tak melayu (online) hilang di dunia (virtual). Melestarikan tradisi dengan cara yang tidak tradisional. Kedua kalimat itu adalah motto situs ini. Dengan latar belakang hijau dikombinasikan warna kuning-cokelat-putih, satu-satunya situs melayu referensi dunia ini diterjemahkan dalam dua belas bahasa. Sayang, sejak berdiri 20 Januari 2007 silam, baru bahasa Indonesia, Inggris, dan Perancis yang bisa diakses. “Bahasa lain sudah disiapkan tapi tak ada dana,” aku Yuhastina Sinaro, Public Relation Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM)—sebuah lembaga yang menaungi melayuonline.com.

Melayuonline.com punya dua puluh empat menu dengan tiga menu utama: Sejarah Melayu, Budaya Melayu, dan Sastra Melayu. “Sejarah melayu mencakup dimensi luas dengan rentan masa panjang,” jelas Naina—panggilan akrab Yuhastina Sinaro—saat BM bertandang ke kantor BKPBM Yogyakarta, Rabu (3/6) lalu.  Sejarah yang dimuat di melayuonline.com adalah peristiwa yang nyata terjadi pada masa silam. Jejaknya pun dapat dilacak melalui peninggalan sejarah: manuskrip, prasasti, sejarah lisan maupun artefak. Sejarah melayu ini dibagi lagi dalam tiga kategori: sejarah tentang kerajaan, naskah sejarah, dan situs sejarah, seperti candi, masjid, istana, dan makam.

Tanah Abang-nya Pekanbaru

PANGGUNG itu terbuat dari kayu berukuran 4 x 3 meter. Bertuliskan Panggung Hiburan Kampung Tionghoa Melayu Pekanbaru, panggung itu didominasi warna merah—warna khas etnis Tionghoa. Lampion-lampion ukuran sedang menjuntai dari tiga sisi atapnya. Atap bagian belakang dibuat berhimpitan dengan pintu salah satu ruko.

Panggung hiburan warga Tionghoa itu terletak di Jalan Dr Leimena—lebih dikenal dengan sebutan Jalan Karet. Jalan ini tak begitu panjang, hanya sekitar 149 meter atau 336 langkah kaki orang dewasa. Uniknya, sepanjang jalan yang terlihat hanya ruko dua tingkat warna-warni ukuran 4 meter. Ada warna hijau, biru, kuning, oranye, pink, dan ungu.

Rabu, 23 Februari 2011

Belajar dari Filep Karma

Pelanggaran hak asasi manusia Papua oleh pemerintah Indonesia.
Oleh Andreas Harsono
  

I
PADA suatu Minggu Desember 2008, saya berkunjung ke penjara Abepura, sebuah bangunan Belanda yang terletak di atas bukit dalam kota Port Numbay, ibukota Papua. Penjara ini menarik perhatian sesudah ada surat dari beberapa organisasi Papua kepada UN Special Rapporteur on Torture Manfred Nowak dimana mereka menerangkan berbagai macam siksaan dalam penjara. Ada tahanan dipukul dengan gembok sehingga kunci menembus mata kanan si tahanan. Namanya, Ferdinand Pakage, seorang anak muda, tukang parkir. Para pelaku, tiga orang sipir penjara, tampaknya immune dari hukuman. Mata Pakage juga tidak diobati. Surat itu cerita berbagai macam kasus penjara. Tendangan dan pukulan terkesan masalah biasa di Abepura. Air minum juga masalah. Makanan bermutu buruk.
Saya melewati tempat pemeriksaan. Anthonius Ayorbaba, kepala penjara Abepura, minta semua barang ditaruh di tempat penitipan. Saya pun dipersilahkan masuk dalam hall penjara, bergabung dengan sekitar 30 pengunjung, yang hendak merayakan ibadah Minggu. Pendeta naik ke mimbar. Kami bernyanyi, kami berdoa, kami dengar khotbah.
Seorang lelaki duduk dekat saya. Brewok lebat macam Karl Marx. Saya langsung kenal. Namanya, Filep Karma, seorang tahanan politik Papua. Saya berbisik-bisik bilang bahwa saya seorang wartawan, sedang cari bahan soal siksaan dalam penjara. Ibadah selesai. Diam-diam dia memperkenalkan saya kepada beberapa tahanan politik lain: Ferdinand Pakage dan Luis Gedi.

Selasa, 22 Februari 2011

Siapa Kim Teng?

Tang Kim Teng lahir di sebuah rumah sederhana di pinggir kota Singapura pada Maret 1921. Nama kecilnya A Ngau. Ayahnya bernama Tang Lung Chiu dan Maknya Tan Mei Liang. Ia anak ketiga dari 5 bersaudara. Leluhurnya berasal dari kampung Kwanchiu, Tiongkok. Kim Teng pernah tinggal di Siak, Sungai Pakning, Bengkalis, dan Pekanbaru. Ia berasal dari keluarga amat sederhana. Mereka pindah-pindah untuk mencari kehidupan lebih baik.

Ketika berusia 4 tahun, dari Singapura, Kim Teng bersama keluarganya pindah ke Pulau Padang, Bengkalis, Riau. Ayahnya kerja jadi tukang masak camp di sana. Tak berapa lama, mereka pindah lagi ke daerah Siak Kecil, masih di Kabupaten Bengkalis. Di sini kerja Lung Chiu, ayahnya, serabutan. Tahun 1931, saat usia Kim Teng 10 tahun, keluarga putuskan pindah dari Siak Kecil ke Sungai Pakning. Di situ, mereka menumpang di sebuah rumah orang Tionghoa kaya dekat kantor Bea Cukai. Namanya Sun Hin atau biasa disapa ‘Toke Gemuk’. Di sini, profesi Lung Chiu sama dengan di Siak Kecil, kerja serabutan. Tahun 1934 mereka pindah lagi ke Pulau Bengkalis. Waktu itu usia Kim Teng 13 tahun. Mereka juga sewa rumah sederhana di Jalan Makau--sekarang Jalan Hokian. Di Bengkalis Lung Chiu kerja jadi tukang masak di sebuah sekolah Tionghoa. Bagi Kim Teng, ayahnya seorang pekerja keras dan ulet.


Tang Kim Teng bersama keluarga besar saat pernikahan cucu pertamanya, Mulyadi Tenggana. Mulyadi kini pengelola Kedai Kopi Kimteng. @nyoto