Kamis, 24 Februari 2011

Meretas Pangkalan Data Mendunia


SELAMAT datang di www.melayuonline.com. Situs dunia melayu se-dunia. Demikian sebait kalimat yang tercantum di bagian atas portal melayuonline.com. Di bawah kalimat tadi ada lagi dua kalimat bergerak: Tak melayu (online) hilang di dunia (virtual). Melestarikan tradisi dengan cara yang tidak tradisional. Kedua kalimat itu adalah motto situs ini. Dengan latar belakang hijau dikombinasikan warna kuning-cokelat-putih, satu-satunya situs melayu referensi dunia ini diterjemahkan dalam dua belas bahasa. Sayang, sejak berdiri 20 Januari 2007 silam, baru bahasa Indonesia, Inggris, dan Perancis yang bisa diakses. “Bahasa lain sudah disiapkan tapi tak ada dana,” aku Yuhastina Sinaro, Public Relation Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM)—sebuah lembaga yang menaungi melayuonline.com.

Melayuonline.com punya dua puluh empat menu dengan tiga menu utama: Sejarah Melayu, Budaya Melayu, dan Sastra Melayu. “Sejarah melayu mencakup dimensi luas dengan rentan masa panjang,” jelas Naina—panggilan akrab Yuhastina Sinaro—saat BM bertandang ke kantor BKPBM Yogyakarta, Rabu (3/6) lalu.  Sejarah yang dimuat di melayuonline.com adalah peristiwa yang nyata terjadi pada masa silam. Jejaknya pun dapat dilacak melalui peninggalan sejarah: manuskrip, prasasti, sejarah lisan maupun artefak. Sejarah melayu ini dibagi lagi dalam tiga kategori: sejarah tentang kerajaan, naskah sejarah, dan situs sejarah, seperti candi, masjid, istana, dan makam.

Tanah Abang-nya Pekanbaru

PANGGUNG itu terbuat dari kayu berukuran 4 x 3 meter. Bertuliskan Panggung Hiburan Kampung Tionghoa Melayu Pekanbaru, panggung itu didominasi warna merah—warna khas etnis Tionghoa. Lampion-lampion ukuran sedang menjuntai dari tiga sisi atapnya. Atap bagian belakang dibuat berhimpitan dengan pintu salah satu ruko.

Panggung hiburan warga Tionghoa itu terletak di Jalan Dr Leimena—lebih dikenal dengan sebutan Jalan Karet. Jalan ini tak begitu panjang, hanya sekitar 149 meter atau 336 langkah kaki orang dewasa. Uniknya, sepanjang jalan yang terlihat hanya ruko dua tingkat warna-warni ukuran 4 meter. Ada warna hijau, biru, kuning, oranye, pink, dan ungu.

Rabu, 23 Februari 2011

Belajar dari Filep Karma

Pelanggaran hak asasi manusia Papua oleh pemerintah Indonesia.
Oleh Andreas Harsono
  

I
PADA suatu Minggu Desember 2008, saya berkunjung ke penjara Abepura, sebuah bangunan Belanda yang terletak di atas bukit dalam kota Port Numbay, ibukota Papua. Penjara ini menarik perhatian sesudah ada surat dari beberapa organisasi Papua kepada UN Special Rapporteur on Torture Manfred Nowak dimana mereka menerangkan berbagai macam siksaan dalam penjara. Ada tahanan dipukul dengan gembok sehingga kunci menembus mata kanan si tahanan. Namanya, Ferdinand Pakage, seorang anak muda, tukang parkir. Para pelaku, tiga orang sipir penjara, tampaknya immune dari hukuman. Mata Pakage juga tidak diobati. Surat itu cerita berbagai macam kasus penjara. Tendangan dan pukulan terkesan masalah biasa di Abepura. Air minum juga masalah. Makanan bermutu buruk.
Saya melewati tempat pemeriksaan. Anthonius Ayorbaba, kepala penjara Abepura, minta semua barang ditaruh di tempat penitipan. Saya pun dipersilahkan masuk dalam hall penjara, bergabung dengan sekitar 30 pengunjung, yang hendak merayakan ibadah Minggu. Pendeta naik ke mimbar. Kami bernyanyi, kami berdoa, kami dengar khotbah.
Seorang lelaki duduk dekat saya. Brewok lebat macam Karl Marx. Saya langsung kenal. Namanya, Filep Karma, seorang tahanan politik Papua. Saya berbisik-bisik bilang bahwa saya seorang wartawan, sedang cari bahan soal siksaan dalam penjara. Ibadah selesai. Diam-diam dia memperkenalkan saya kepada beberapa tahanan politik lain: Ferdinand Pakage dan Luis Gedi.

Selasa, 22 Februari 2011

Siapa Kim Teng?

Tang Kim Teng lahir di sebuah rumah sederhana di pinggir kota Singapura pada Maret 1921. Nama kecilnya A Ngau. Ayahnya bernama Tang Lung Chiu dan Maknya Tan Mei Liang. Ia anak ketiga dari 5 bersaudara. Leluhurnya berasal dari kampung Kwanchiu, Tiongkok. Kim Teng pernah tinggal di Siak, Sungai Pakning, Bengkalis, dan Pekanbaru. Ia berasal dari keluarga amat sederhana. Mereka pindah-pindah untuk mencari kehidupan lebih baik.

Ketika berusia 4 tahun, dari Singapura, Kim Teng bersama keluarganya pindah ke Pulau Padang, Bengkalis, Riau. Ayahnya kerja jadi tukang masak camp di sana. Tak berapa lama, mereka pindah lagi ke daerah Siak Kecil, masih di Kabupaten Bengkalis. Di sini kerja Lung Chiu, ayahnya, serabutan. Tahun 1931, saat usia Kim Teng 10 tahun, keluarga putuskan pindah dari Siak Kecil ke Sungai Pakning. Di situ, mereka menumpang di sebuah rumah orang Tionghoa kaya dekat kantor Bea Cukai. Namanya Sun Hin atau biasa disapa ‘Toke Gemuk’. Di sini, profesi Lung Chiu sama dengan di Siak Kecil, kerja serabutan. Tahun 1934 mereka pindah lagi ke Pulau Bengkalis. Waktu itu usia Kim Teng 13 tahun. Mereka juga sewa rumah sederhana di Jalan Makau--sekarang Jalan Hokian. Di Bengkalis Lung Chiu kerja jadi tukang masak di sebuah sekolah Tionghoa. Bagi Kim Teng, ayahnya seorang pekerja keras dan ulet.


Tang Kim Teng bersama keluarga besar saat pernikahan cucu pertamanya, Mulyadi Tenggana. Mulyadi kini pengelola Kedai Kopi Kimteng. @nyoto

Kamis, 17 Februari 2011

Orientasi Pertama Pada Duit


Universitas Riau kini punya 9 fakultas. Setiap fakultas ada badan kajian. Total 27 badan kajian se-UR. Yang aktif, 9 badan. Artinya, hanya sepertiga dari total badan kajian. Sungguh miris. Padahal badan kajian adalah wadah meneliti para dosen di tingkat fakultas. Meneliti merupakan satu dari tiga tri dharma perguruan tinggi. Jelas ini hukumnya wajib bagi para dosen.
Mengapa tidak aktif, alasannya beragam. Sibuk. Badannya tak sesuai bidang ahli. Alasan terbanyak, SK dari rektor sebagai kepala badan belum keluar. “Tidak ada legalitasnya,” kata mereka kompak. Sebagian kecil hanya mengatakan badannya tidak ada kegiatan, tanpa merinci alasan selanjutnya.

Sengkarut Hidup Badan Kajian

GEDUNG Marine Center Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (Faperika) Universitas Riau. Lantai dua lorong kiri ruangan pertama sisi kanan. “Di sini lah dulu tempatnya. Sekarang sudah tidak ada lagi kegiatannya,” ujar Achmadi Martadinata Trikora. Ia merujuk sebuah ruangan tempatnya hampir tiap sore beraktivitas. “Sekarang sudah jadi ruang ICT,” lanjutnya.
Dulu ruang itu milik Badan Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Laut dan Pesisir (BPP-L2P). Ia berada di bawah Jurusan Ilmu Kelautan. Semua aktivitas badan dikerjakan di sana—mulai dari perencanaan kegiatan sampai bikin laporan akhir. Trikora juga peneliti di badan itu.
Kini, bila pagi hari, ruang berukuran 6x8 meter itu kunci. Tak ada aktivitas badan lagi. “Barang-barangnya pun sudah tidak ada. Hanya tinggal dua lemari dan sisa-sisa perangkat komputer,” katanya merujuk sisa perangkat badan. Satu lemari tiga pintu di sisi kiri pintu masuk, lemari satunya berpintu dua di pojok kanan. Sisa-sisa perangkat komputer bertumpuk di lantai. “Sudah rusak karena tidak dipakai.”
Ploter merupakan barang paling berharga yang tersisa. Gunanya cetak peta ukuran A nol. Ini pun sudah tak berfungsi. Ia diletakkan di Laboratorium Fisika Laut. “Tali baltingnya putus.” Tali ini tak dijual di Indonesia. Bila ingin beli, harus pesan ke Singapura. “Kalau pesan, kita tidak tahu cara pasangnya.” Ini juga jadi salah satu sebab kerja badan mandek.

Selasa, 15 Februari 2011

Peristiwa Cikeusik dan Bias Media

Peristiwa yang menimpa Ahmadiyah Cikeusik seminggu belakangan, menjadi perhatian dunia. Warga Ahmadiyah ini dipukul, dibacok, dilempari batu. Tiga Ahmadiyah tewas dan banyak yang terluka akibat serangan itu.
Ada dua versi kronologis penyerangan di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Satu dari Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), satunya lagi versi polisi.
Polisi menyangkal keterlibatan mereka pada peristiwa itu. Menurut Hasan, Kanit Intel Polsek Cikeusik, mereka sudah coba mencegah peristiwa dengan berniat mengevakuasi para Ahmadi. Namun warga Ahmadiyah tidak mau. “Biar saja kita bentrok, biar seru. Kan asyik Pak,” kata Deden Sujana, anggota Ahmadiyah. Perbincangan ini terekam kamera video. Dalam rekaman itu juga terlihat Deden pertama kali memicu emosi massa.

Senin, 14 Februari 2011

Semua di Luar Keingingan

 
TAHUN 1989. Sofyan Samsir berusia 24 tahun. Kebetulan Koran Warta Karya—kini harian Riau Pos—membutuhkan wartawan muda.
Soeripto—saat itu Gubernur Riau—melalui Herman Abdullah—saat itu Ketua Dewan Pengurus Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Riau—meminta Sofyan bergabung. “Waktu itu saya masih mahasiswa, tinggal ujian sarjana,” kenangnya.  Sayang, Warta Karya tak bertahan lama. Lantaran subsidinya dihentikan pemerintah daerah.
Untung koran itu bangkit lagi setelah bergabung dengan manajemen Jawa Pos. Alhasil, Sofyan pun diminta bergabung kembali. Tahun 1991—bertepatan dengan perang Teluk Meletus—terbitlah Koran Riau Pos edisi perdana.
Rida K. Liamsi—kini chairman Riau Pos Group—amat percaya pada Sofyan. Terbukti, dalam waktu tujuh tahun, berbagai jenjang karir disandang Sofyan. Mulai reporter, redaktur, redaktur pelaksana, sampai koordinator liputan.
Tahun 1998, Sofyan dipercaya menjabat Pimpinan Redaksi Padang Ekspres—salah satu grup Riau Pos Group. Dua tahun bekerja di Padang, ia lalu ditarik lagi ke Pekanbaru dan menjabat Pimpinan Redaksi Riau Pos. Satu setengah tahun kemudian, Sofyan ditempatkan ke Dumai. Di kota minyak itu, ia ditugaskan menjadi Pimpinan Umum Dumai Pos—juga juga grup Riau Pos.

Sabtu, 12 Februari 2011

M2U00151

Diskusi tentang komunis.MPG

Sembilan Elemen Berjurnalisme

Saya dan empat teman lain berjumpa Andreas Harsono di Pustaka Wilayah Soeman HS bulan Juli tahun lalu. Kami berdiskusi ringan sambil ngopi dan ngeteh. Bicarakan banyak hal. Ia cerita pengalaman meliput Aceh, soal Maluku, hingga Papua. Ia ajarkan bagaimana jadi wartawan sesungguhnya, ajarkan menulis panjang, dan membuka mata kami tentang kondisi kekinian media di Indonesia. Ia bilang akan terbitkan buku kumpulan naskah soal jurnalisme. Buku itu dalam proses desain cover. Isinya sudah utuh dan lengkap. Kami tawarkan launching di Pekanbaru, di Pustaka Soeman HS. Ia setuju.