Kamis, 24 Februari 2011

Tanah Abang-nya Pekanbaru

PANGGUNG itu terbuat dari kayu berukuran 4 x 3 meter. Bertuliskan Panggung Hiburan Kampung Tionghoa Melayu Pekanbaru, panggung itu didominasi warna merah—warna khas etnis Tionghoa. Lampion-lampion ukuran sedang menjuntai dari tiga sisi atapnya. Atap bagian belakang dibuat berhimpitan dengan pintu salah satu ruko.

Panggung hiburan warga Tionghoa itu terletak di Jalan Dr Leimena—lebih dikenal dengan sebutan Jalan Karet. Jalan ini tak begitu panjang, hanya sekitar 149 meter atau 336 langkah kaki orang dewasa. Uniknya, sepanjang jalan yang terlihat hanya ruko dua tingkat warna-warni ukuran 4 meter. Ada warna hijau, biru, kuning, oranye, pink, dan ungu.

Jalan ini terletak di antara Jalan Ir. H. Juanda dan Jalan Sam Ratulangi. Ada sekitar 29 ruko di sisi kiri dan 36 ruko di sisi kanan. Sisanya—selain panggung hiburan—berdiri sebuah Vihara Dharma Loka, sebuah bengkel sepeda motor, dan sebuah pos satpam. Ruko-ruko itu membuka beraneka ragam usaha, mulai dari kedai kopi, toko bangunan, toko keramik, salon, tempat cabut gigi, sampai sekretariat Pimpinan Anak Cabang Pemuda Pancasila Kecamatan Senapelan. Tak heran bila kawasan ini lebih dikenal dengan sebutan Perkampungan Tionghoa—yang biasanya identik dengan ruko dan berdagang.            

MINGGU (17/1) pagi pukul 09.00. Vihara Dharma Loka Pekanbaru dipenuhi masyarakat Tionghoa. Mereka antri mendaftar untuk pembagian sembako yang dilakukan vihara pada Minggu (7/2)—seminggu sebelum Imlek (Tahun Baru Cina). Ritual ini dilakukan setiap tahun, bertujuan berbagi rezeki kepada warga Tionghoa beragama Buddha yang kurang mampu.

Suka cita warga Tionghoa saat Imlek tak hanya tercermin dengan saling berbagi rezeki. Secara kasat mata, suka cita itu pun diwujudkan melalui pemasangan lampion-lampion kecil di sepanjang jalan—biasanya dilakukan seminggu sebelum Imlek.

Di samping itu—demi kepuasan batin—warga Tionghoa memanfaatkan panggung hiburan untuk bernyanyi. Kebiasaan ini dilakukan pada Sa Cap Me (malam ke tiga puluh—malam sebelum Tahun Baru Cina). Biasanya mereka menyanyikan lagu-lagu Imlek. Seperti Xin Chun Ling Xien (Pertunjukan Tahun Baru), Kiong Hi Sin Nyan (Selamat Tahun Baru), atau Gong Xi Gong Xi (Selamat Selamat).

Rupanya panggung hiburan tak digunakan saat Imlek saja. Tiap minggu, perkumpulan warga Tionghoa ini juga mengadakan panggung hiburan. “Sekedar menjalin keakraban dan kebersamaan,” ujar Aliong, salah satu warga yang tinggal di sana. “Itung-itung menghilangkan lelah setelah seminggu bekerja,” timpal istrinya.

Serupa saat Sa Cap Me, setiap minggu mereka sangat menikmati hiburan yang disajikan. Tak jarang di antara mereka turut menyumbangkan lagu. “Kadang-kadang saya nyanyi juga, lagunya Andy Lau yang judulnya Wo Pu Kuo Ai Ni (Aku Tak Pantas Untuk Kau Cintai),” kata Aliong. Sedangkan istrinya mengaku tak bisa nyanyi. “Tapi saya sangat suka dengar lagu Cu Fu Ni (Semoga Anda Beruntung),” ujarnya. “Biar keberuntungan selalu menyertai kita,” tambahnya cepat.

Perayaan jauh lebih mewah saat Cap Go Meh (hari ke-15 Tahun Baru Cina) tiba. Di samping ada hiburan berupa nyanyian, para warga juga dihibur dengan petunjukan barongsai. Saat barongsai beraksi, spontan setiap penghuni ruko menggantungkan angpao (kertas merah berisi uang) di depan rumahnya. Secepat kilat, barongsai yang diperankan oleh para pemuda terlatih ini langsung menyambar angpao-angpao itu.

BEBERAPA warga yang dijumpai mengaku tak tahu pasti kapan tepatnya diresmikan Panggung Hiburan Kampung Tionghoa Melayu ini. “Kira-kira tiga tahun lalu,” ujar Amoy, warga yang sudah tiga puluh tahun tinggal di sana. “Yang pasti panggung itu diresmikan Walikota Pekanbaru,” kata Mei Ling, warga lainnya sambil menunjuk panggung yang berdiri tepat di depan rukonya.

Sayang, beberapa minggu terakhir, intensitas penggunaan panggung hiburan sudah mulai jarang. Panggung hanya digunakan pada hari Sabtu, itu pun tak setiap minggu. “Dana untuk bikin acaranya terbatas,” keluh Aliong. Sedangkan dulu, selain Sabtu, panggung juga digunakan pada hari Minggu. Bahkan pernah sampai tiga kali seminggu: Jumat, Sabtu, Minggu.

Meski begitu, cara pengumpulan dananya cukup unik. Mereka menggunakan prinsip “Dari Kita Untuk Kita”. Maksudnya, dana hasil sumbangan menyanyi di atas panggung dikumpulkan, lalu digunakan untuk mendanai acara selanjutnya. “Sekarang mereka (antar kelompok atau antar anggota kelomp) sudah mulai tak kompak, makanya makin ke belakang acaranya makin jarang,” lapor Hendri, salah satu pemuda yang tinggal di Vihara Dharma Loka.

Hal berbeda disampaikan beberapa warga di Perkampungan Tionghoa. Mereka mengaku toleransi antar tetangga sangat terjaga, meski mereka tinggal di ruko yang tertutup rapat. Seperti yang dikemukakan Yuliana, pemilik Toko Modren, tempat cabut gigi. “Tiap sore biasanya kami duduk di depan ruko sambil cerita-cerita.” “Anak-anak kami juga sering bermain bersama,” sambung Amoy.

JALAN Karet—Dr Leimena—sudah ada sejak awal tahun 1874—sekitar 135 tahun silam. Berdasarkan keterangan Kok Siang, awalnya daerah perkampungan itu disebut Tanah Abang. Sayang, kakek berusia 88 tahun ini tak tahu pasti mengapa disebut Tanah Abang. “Yang jelas, begitu saya hijrah dari Tiongkok ke sini (Pekanbaru), sudah itu namanya. Mungkin mau meniru Tanah Abang Jakarta,” selorohnya lalu terkekeh.

Setelah Tanah Abang, namanya lalu berganti menjadi Jalan Karet. “Sekitar sepuluh tahun lalu baru diganti nama jalannya menjadi Dr Leimena,” sebut Kok Siang. Pria yang sudah bermukim di sana sekitar 60 tahun ini mengaku tak mengenal istilah Perkampungan Tionghoa. “Itu istilah baru, kalau tak salah sejak berdiri Vihara Tri Ratna Buddhist Centre Pekanbaru.

1 komentar: