Kamis, 17 Februari 2011

Sengkarut Hidup Badan Kajian

GEDUNG Marine Center Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (Faperika) Universitas Riau. Lantai dua lorong kiri ruangan pertama sisi kanan. “Di sini lah dulu tempatnya. Sekarang sudah tidak ada lagi kegiatannya,” ujar Achmadi Martadinata Trikora. Ia merujuk sebuah ruangan tempatnya hampir tiap sore beraktivitas. “Sekarang sudah jadi ruang ICT,” lanjutnya.
Dulu ruang itu milik Badan Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Laut dan Pesisir (BPP-L2P). Ia berada di bawah Jurusan Ilmu Kelautan. Semua aktivitas badan dikerjakan di sana—mulai dari perencanaan kegiatan sampai bikin laporan akhir. Trikora juga peneliti di badan itu.
Kini, bila pagi hari, ruang berukuran 6x8 meter itu kunci. Tak ada aktivitas badan lagi. “Barang-barangnya pun sudah tidak ada. Hanya tinggal dua lemari dan sisa-sisa perangkat komputer,” katanya merujuk sisa perangkat badan. Satu lemari tiga pintu di sisi kiri pintu masuk, lemari satunya berpintu dua di pojok kanan. Sisa-sisa perangkat komputer bertumpuk di lantai. “Sudah rusak karena tidak dipakai.”
Ploter merupakan barang paling berharga yang tersisa. Gunanya cetak peta ukuran A nol. Ini pun sudah tak berfungsi. Ia diletakkan di Laboratorium Fisika Laut. “Tali baltingnya putus.” Tali ini tak dijual di Indonesia. Bila ingin beli, harus pesan ke Singapura. “Kalau pesan, kita tidak tahu cara pasangnya.” Ini juga jadi salah satu sebab kerja badan mandek.
Sebab utama BPP-L2P vakum karena persoalan SK. Yusni Ikhwan Siregar, kepala BPP-L2P sekarang, belum pegang surat keputusan rektor—bukti keabsahan dirinya sebagai kepala BPP-L2P. Padahal sudah ditunjuk melalui rapat jurusan sejak 2008. “Tidak bisa melakukan kegiatan karena tidak ada legalitasnya.”
Di Faperika ada lima badan kajian lagi. Semuanya vakum. “Tidak ada yang aktif lagi di sini,” kata Bustari Hasan, Dekan Faperika. Alasan mereka beragam. Syaifuddin, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Perairan dan Lingkungan (BPP-PSP) mengaku peluang meneliti sedang langka. “Yang lagi marak bidang lingkungan dan budidaya perikanan,” ujarnya simpel.
Darwis, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Wilayah dan Pesisir (BPP-EWP) beralasan sulitnya jalin kerjasama dengan pihak luar. “Sudah ada lembaga penelitian dan pusat-pusat. Kita kalah saing dengan mereka,” akunya. Ia tawarkan solusi mengatasi ketidak aktifan badan di fakultasnya, “Lemlit atau pusat kerjasama dengan pihak luar, lalu kerjaannya dilimpahkan ke badan sesuai bidangnya.”
KONDISI badan kajian di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) lain lagi. Sejak tahun 2007, mereka masih menanti SK rektor untuk keabsahan nama badan kajian. “Setelah SK rektor untuk nama badan keluar, baru kita ajukan proposal untuk kepala badannya,” kata Wan Asrida, Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan.
Hingga kini, baru Ilmu Pemerintahan yang SK nama badannya sudah keluar. Jurusan lain, masih menanti. Padahal proposal pengajuan nama badan diusulkan kolektif ke rektor—secara bersamaan untuk semua jurusan, melalui fakultas. “Tidak tahu kenapa baru kita yang keluar SK-nya,” ujar Wan.
Pernyataan Wan diamini jurusan lain di FISIP. “SK badan kami belum keluar,” kata Kasmirudin, Ketua Program Studi Administrasi Niaga. Jurusan lain pun bernasib sama. Wan menambahkan, di SK badan milik jurusannya, tertera tanggal keluar SK 8 Februari 2010. “Tapi saya baru terima sebulan ini. Tidak tahu di mana nyangkutnya.”
Darussalam, Kepala Kepegawaian Universitas Riau, yang kerjanya bikin SK, mengaku belum ada SK yang masuk selama ia menjabat. Dua tahun lalu, sebelum dirinya, bagian kepegawaian dijabat oleh Saleh—kini Kepala Badan Administrasi Umum dan Keuangan (BAUK). “Biasanya kalau ada, langsung kita kerjakan. Ni kan, tidak ada berkas menumpuk di meja saya,” katanya seraya melihatkan meja kerja yang tak ada tumpukan berkas. Ia pun tak paham SK itu tersangkut dimana. Prosedurnya, jelas Darussalam, dari fakultas ke rektor, lalu ke Pembantu Rektor II, lalu ke BAUK, baru kepegawaian bikin SK.
MASALAH lain pada badan kajian, yakni keluarnya Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah—kini diganti Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010. “Yang memberatkan, kerjasama dengan pihak luar perlu ada perusahaan dan NPWP. Kini PNS pun tidak boleh main proyek,” kata Siswanto, Kepala Badan Pelayanan Pengkajian Penerapan Teknologi di Fakultas Teknik.
Bintal Amin, Kepala Pusat Penelitian Kawasan Pantai Perairan berpendapat sama. Baginya, ini perlu solusi dari lembaga penelitian (lemlit). Mereka mesti turut bantu pusat kajian carikan penelitian melalui kerjasama dengan pihak luar. “Kan tidak semua pusat punya jaringan luas,” katanya. Agar kerjasama terjalin, perlu pendekatan dan kepercayaan pihak luar. “Tidak mungkin sekali ketemu langsung percaya, butuh proses,” lanjut Bintal. 
Christine Jose, Kepala Badan Kajian Kimiawi Bahan Alam di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) kemukakan alasan pribadi. “Saya sibuk belakangan ini.” Baginya, mengajar nomor satu. “Tambah lagi saya jadi ketua panitia beberapa kegiatan berskala nasional. Jadi badan kajian ini tidak ter-handle,” katanya. Ia tawarkan solusi konkrit; akan adakan rapat dan rombak struktur kepengurusan badan kajiannya.
Kendala sama dirasakan Irwan dan Rita Anugerah. Irwan Kepala Unit Pengkajian dan Pengembangan IPTEK Fisiologi dan Olahraga (UP2IFO) di Fakultas Kedokteran. Sedangkan Rita Kepala Badan Pengkajian Pengembangan Akuntansi dan Keuangan di Fakultas Ekonomi. Irwan mengaku, sudah dua tahun tidak ada kegiatan di badannya. “Saya sibuk. Tidak bisa. Tidak ada yang mau gantikan. Ya sudah.” Sementara Rita menganggap badan kajiannya seperti ekstrakurikuler. “Kebetulan kita punya wadah untuk berkreatifitas.” Baru tahun 2010 ini badan kajian Rita sepi kegiatan karena ia sibuk mengajar.
Badan Pengkajian Pengembangan Pertanian milik Nurul Qomar juga tidak aktif. Ia beralasan, badan kajian tak sesuai dengan keahliannya. “Bidang ahli saya kehutanan atau lingkungan.” Ia kemarin usulkan nama badannya Badan Pengkajian Teknologi Pertanian dan Pedesaan. “Waktu keluar SK namanya diganti jadi Badan Pengkajian Pengembangan Pertanian,” akunya. Qomar sudah coba tawarkan ke dosen lain untuk jadi ketua, “Tak ada yang mau.”
Almasdi Syahza, Kepala Badan Kajian Koperasi dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat serta Kepala Badan Kajian Pendidikan Dasar dan Menengah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) tak perpanjang SK-nya. Kedua badan kajiannya masih pakai SK dekan kala itu. SK dekan sudah mati tiga tahun lalu. “Sengaja tidak diperpanjang,” katanya.
Tahun 2007, Almasdi pernah ajukan proposal untuk dapat SK rektor. “Ada penertiban semua badan di fakultas harus ada SK rektor,” kenangnya. Namun hingga kini, SK itu belum keluar. Penyebab lain kedua badan kajiannya tak lagi aktif, ia kapok bekerjasama dengan pemerintah. “Pembagiannya tidak adil, pernah sampai fifty-fifty. Padahal kita semua yang kerja. Karena alasan itu saya malas perpanjang SK.” Bila ada proyek, “Saya pakai Lemlit saja.” MUCHTAR Ahmad, mantan Rektor Universitas Riau, pernah bikin aturan soal penertiban badan. Ia tuangkan dalam SK nomor 024/J19/KP/2004 tentang ketentuan umum pusat dan badan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di lingkungan Universitas Riau.
Pasal 12 SK tersebut mengatur, “Jenis dan jumlah badan adalah minimal satu badan dalam setiap jurusan (sesuai spesifikasi jurusannya) dan maksimal dua badan yang bersifat lintas jurusan.” Adnan Kasry, ketua tim evaluasi proposal pembentukan badan atau pusat penelitian di lingkungan Universitas Riau bilang, dulu banyak badan yang tak jelas. “Di Faperika saja sampai 27, padahal jurusan hanya ada enam,” rincinya.
Berkat aturan itu, badan-badan kajian diformat ulang. Bagi fakultas yang masih ingin punya badan, mesti ajukan proposal. Salah satu yang ajukan proposal Sri Kartikowati. Waktu itu badan kajiannya bernama Pusat Studi Pendidikan Ekonomi.
Tahun 2008 datang surat dari rektorat. Proposalnya mesti direvisi. Ia harus mengganti nama ‘pusat’ jadi ‘badan’. “Katanya kalau di fakultas semuanya bernama badan. Di tingkat universitas baru pusat,” kata Sri. Hasil revisi proposal itu diserahkan lagi ke rektorat. “Tapi sampai sekarang tidak ada jawabannya. Saya tidak tahu bagaimana kejelasannya,” aku Sri.
Walau begitu, hingga kini badan kajian milik Sri masih jalan. Bahkan mereka berhasil menjalin kerjasama rutin dengan salah satu instansi di Amerika. Kegiatannya, melatih guru-guru ekonomi tingkat SMA. “Hampir setiap tahun diadakan,” katanya.  
Bukan hanya Sri Kartikowati. Rita Anugerah, Kepala Badan Pengkajian Pengembangan Akuntansi dan Keuangan juga melakukan kegiatan serupa. Bedanya, Rita kerjasama dengan pemerintah Propinsi Riau untuk bikin pelatihan. Ia didik mahasiswa akuntansi yang baru tamat jadi akuntan handal. “Setelah lulus, mereka akan diterima di instansi pemerintah dan berbagai perusahaan.”
Sistem gelar pelatihan ini juga dipakai Machasin. Ia bikin kursus perpajakan. Ini salah satu pemasukan Badan Kajian Manajemen dan Pengembangan Bisnis miliknya. Kursus sudah lima tahun berjalan, muridnya sudah 500-an orang. Kursus akan diadakan lagi dalam waktu dekat. Sumber dana lainnya dari beberapa pelatihan dan pembinaan melalui kerjasama dengan berbagai pihak.  DI TINGKAT universitas, kedua belas pusat yang ada sudah punya kegiatan, terutama bentuk penelitian. Meski rata-rata jumlah kegiatan tidak sama di setiap pusat per tahunnya. Berdasarkan data Lemlit, pusat yang paling aktif yakni Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) pimpinan Mubarak.
Tahun 2010, mereka bisa hasilkan nilai kontrak hingga Rp 7 miliar. Dari jumlah itu, dua persen diberikan ke Universitas Riau dan tiga persen ke Lemlit. “Dari sisi itu kita nilai PPLH terbaik,” kata Usman Tang, Ketua Lemlit. Semua pusat penelitian berada di bawah koordinasi Lemlit.
Pusat penelitian lain, rata-rata bikin dua sampai empat kegiatan per tahun. Caska, Kepala Pusat Penelitian Kependudukan, mengemukakan alasan kekurang aktifan pusatnya. “Anggota yang mengurus administrasi tidak ada. Saya paling malas ngurus begituan.” Sejauh ini, Pusat Kependudukan meneliti jika turun dana penelitian insidental yang diberikan Lemlit. Setiap pusat dapat Rp 30 juta per tahun. “Sebagai motivasi agar pusat ada kegiatan. Meskipun kita berharap dari Rp 30 juta itu mereka bisa menghasilkan lebih untuk universitas,” ujar Usman Tang.  
Kepala Sentra HKI, Zulfikar Jayakusuma berikan alasan beda. “Ngurus HKI ini bukan gampang. Banyak berkas yang harus dilengkapi dan direvisi. Tidak sekali urus langsung jadi,” katanya. Sedangkan Kepala Pusat Penelitian Peranan Wanita (P3W), Risdayanti bilang, “Untuk tahun 2010 ini kami fokus bangun jaringan dulu. Tahun depan baru bikin program kerja.” Risdayanti baru setahun menjabat Kepala P3W.
Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan (P2KK) mengaku punya banyak program kerja dalam setahun. “Kita ada penelitian mandiri, pesanan, dan penelitian melalui penawaran kepada pihak luar,” kata Elmustian Rahman, Kepala P2KK. Mereka punya berbagai program rutin setiap tahun; penelitian, publikasi dan penerbitan, pelatihan dan kerjasama, serta database kebudayaan melayu dan website.  TANGGAL 6 Agustus 2009. Seorang pria berkacamata keluar dari ruangan Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Pinang. Menyadari banyak wartawan menunggu, spontan ia tutupi wajahnya dengan lembaran berita acara penetapannya. Sebelumnya, lembaran ini hanya dipegang saja.
Ia salah seorang dari empat tersangka yang divonis bersalah. Sore itu, begitu sidang usai, ia langsung dibawa ke mobil tahanan. Sejumlah staf Kejari ikut mengawal. Ia terbukti melakukan korupsi proyek bimbingan belajar (bimbel) SMP dan SMA di Lingga tahun 2007 senilai Rp 960 juta. Ia ditahan 1,5 tahun.
Ia dosen Matematika di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Riau. Saat itu ia juga Ketua Badan Science Quantitatif (BSQ) FMIPA. Kini ia sudah bebas. Chainulfiffah, Dekan FMIPA saat itu, membenarkan hal ini. “Setelah bebas, dia mengajar lagi seperti biasa di sini,” kata Bu Pit, panggilan akrab Chainulfiffah.
“Saya difitnah,” ujarnya saat dijumpai di Gedung Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan. Ia menitikkan air mata. “Sedih bila ingat keluarga terlantar gara-gara itu. Sampai sekarang saya masih trauma,” katanya. Ia bilang, Bustami, mahasiswanya dulu, telah memalsukan tanda tangannya sebagai kepala badan BSQ. “Saya aja belum pernah ke Tanjung Pinang waktu itu. Tapi ya sudahlah, mungkin itu garis Tuhan yang harus saya jalani. Sekarang saya hanya ingin hidup tenang bersama keluarga,” sambungnya.
Kasus ini sempat hangat saat itu. “Banyak yang takut sejak kasus itu. Mungkin karena itu banyak badan kajian yang kurang aktif,” duga Erwin, Ketua Jurusan Fisika FMIPA. Kini, ada tiga badan kajian di FMIPA yang sepi kegiatan; BSQ, Badan Kajian Inovasi Fisika, dan Badan Kajian Konservasi Sumberdaya Hayati. Mereka beralasan, SK rektor bukti sah sebagai kepala badan kajian belum keluar.
“Kasus itu tidak ada kaitannya dengan kekurang aktifan badan kajian,” bantah Bu Pit. Pernyataan Bu Pit dikuatkan Indra, Bendahara FMIPA. Dulu, Indra yang diminta urus soal pembentukan badan kajian di FMIPA. “Nama-nama kepala badan sudah diusulkan bersamaan dengan pengajuan nama badan. Bulan Mei 2007 sudah keluar SK rektor,” jelas Indra. Namun, SK tidak menyebutkan kepala badan, hanya nama badan saja. “Setelah SK badan keluar, baru diusulkan untuk pengajuan nama kepala badannya,” ujar Darussalam, Kepala Kepegawaian UR menjelaskan tata cara pengajuan badan kajian.
Tak hanya ini. Kasus Panleggate awal 2008 silam juga melibatkan banyak badan kajian di UR. Panleggate merupakan kasus korupsi dana APBD senilai 3,5 miliar untuk kegiatan pengkajian dan penelaahan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda). Kasus ini menyebabkan Ikhsan, terbukti bersalah di Pengadilan Negeri dan sempat ditahan. Namun, di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, ia dinyatakan tidak bersalah. Kini ia sudah bebas.
Ikhsan, mantan Dekan Fakultas Hukum diminta Ruskin Har, sekretariat dewan bikin pusat kajian fiktif sebagai pelaksana kegiatan. Selain bikin pusat kajian, Ikhsan pun melibatkan Meyzi Heryanto, Kepala Pusat Studi Pengembangan Bisnis (PSPB) FISIP. Kabarnya lembaga Meyzi ini sudah lama tidak ada lagi. “PSPB dulu ada. Tapi saat ini sudah dileburkan. Saya tidak tahu pasti kapan dilebur,” aku Meyzi saat diminta jadi saksi persidangan kasus Panleggate, pertengahan Februari 2008. Dodi Haryono, Ketua Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan Publik (PKPH) dan Emilda Firdaus, Ketua Badan Konsultasi Bantuan Hukum (BKBH) turut dilibatkan Ikhsan.
Anehnya, terkuaknya kedua kasus ini bertepatan dengan kurang aktifnya badan-badan kajian di berbagai fakultas. Berdasarkan pantauan BM, dari 28 badan kajian di seluruh fakultas, 18 kepala badan menyatakan badannya sepi kegiatan selama dua tahun terakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar