Selasa, 15 Februari 2011

Peristiwa Cikeusik dan Bias Media

Peristiwa yang menimpa Ahmadiyah Cikeusik seminggu belakangan, menjadi perhatian dunia. Warga Ahmadiyah ini dipukul, dibacok, dilempari batu. Tiga Ahmadiyah tewas dan banyak yang terluka akibat serangan itu.
Ada dua versi kronologis penyerangan di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Satu dari Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), satunya lagi versi polisi.
Polisi menyangkal keterlibatan mereka pada peristiwa itu. Menurut Hasan, Kanit Intel Polsek Cikeusik, mereka sudah coba mencegah peristiwa dengan berniat mengevakuasi para Ahmadi. Namun warga Ahmadiyah tidak mau. “Biar saja kita bentrok, biar seru. Kan asyik Pak,” kata Deden Sujana, anggota Ahmadiyah. Perbincangan ini terekam kamera video. Dalam rekaman itu juga terlihat Deden pertama kali memicu emosi massa.
Sementara itu, Kontras menilai polisi terlibat, dengan membiarkan aksi penyerangan oleh 1.500 orang terhadap 25 warga Ahmadiyah. “Kekuatan mereka besar, petugas yang hanya 120 orang tidak kuasa mengendalikan situasi,” dalih Kapolres Pandeglang.
Keterlibatan polisi dikuatkan oleh pernyataan Nurkholis, Direktur LBH Jakarta. “Ada empat level keterlibatan polisi; infliction (menciptakan penderitaan, penghukuman, pengalaman pahit bagi korban), instigation (mendorong, menganjurkan, menghasut), consent (memberi persetujuan), dan acquiescence (memberi persetujuan diam-diam).”
Dalam video yang direkam Arif, warga Ahmadiyah, terlihat para penyerang memakai pita biru dan hijau. Melihat itu, beberapa kalangan, seperti Kontras dan LBH menilai penyerangan ini by design. “Ini kejadian tidak muncul begitu saja, kejadian sudah terskenario,” kata Ray Rangkuti dari Badan Pekerja Lintas Agama.
Ribut-ribut peristiwa Cikeusik juga jadi perhatian media. Bukannya memberitakan soal detail kejadian, beberapa media mainstream, seperti Metro TV dan TV One malah sibuk mencari tahu siapa perekam dan pengupload video Cikeusik. Mereka berspekulasi tanpa melakukan disiplin verifikasi dalam pemberitaannya. “Dalam membuat diskusi, TV One tidak melakukan fungsi forum publik. Orang diadu. Mereka tidak peduli dengan demokrasi. Jadi hanya cari sensasi,” kata Andreas Harsono.
Akibat bias media dan pemberitaan yang serba tanggung, Andreas, pengupload video mendapat cibiran masyakarat. Ia diancam akan dibunuh akibat mengupload video berdurasi 1.07 menit itu. Bahkan ada yang mengatakan peristiwa Cikeusik merupakan skenario pihak asing.

Ini beberapa link yang beraitan dengan peristiwa Ahmadiyah Cikeusik dan bias media.
http://www.engagemedia.org/Members/cikeusik/news/ahmadiyah-bloodied-video-leads-to-calls-for-revoke-of-decree-against-religious-minority
http://www.tribunnews.com/2011/02/14/rusuh-ahmadiyah-cikeusik-rekayasa
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2011/02/13/brk,20110213-313202,id.html?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter
http://www.republika.co.id//berita/breaking-news/nasional/11/02/11/163769-ahmadiyah-cikeusik-biar-saja-kita-bentrok-pak-biar-seru-kan-asyik-pak
http://nasional.vivanews.com/news/read/204108-arif--perekam-serangan-ahmadiyah-buka-bukaan
http://nasional.inilah.com/read/detail/1230302/arif-tak-pernah-melihat-hasil-rekamannya
http://www.detiknews.com/read/2011/02/10/180803/1568863/10/andreas-harsono-ada-ancaman-setelah-upload-video-ahmadiyah-di-youtube
http://www.detiknews.com/read/2011/02/10/070526/1568194/10/susahnya-menelusuri-pengupload-video-tragedi-ahmadiyah-di-youtube
http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwww.korantempo.com%2Fkorantempo%2Fkoran%2F2011%2F02%2F09%2FOpini%2Fkrn.20110209.226563.id.html&h=962e0
http://adityapanjirahmanto.blogspot.com/2011/02/prasangka-buruk-ciptaan-media-massa.html


http://andreasharsono.blogspot.com/2011/02/wawancara-soal-ahmadiyah.html

Lantas;
Berikan komentar Anda tentang peristiwa Cikeusik?
Soal keterlibatan polisi dan rekayasa peristiwa oleh pihak asing?
Bagaimana media mainstream meliput peristiwa ini?

Selasa sore ini, bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Forum Pers Mahasiswa (Fopersma) Riau menggelar diskusi ini. Fopersma terdiri dari empat lembaga pers mahasiswa; Visi Unilak, Aklamasi UIR, Bahana Unri, dan Gagasan UIN Suska. Diskusi diadakan di Sekretariat Bahana Mahasiswa. Dari empat LPM, hanya kru Bahana dan Aklamasi yang hadir. 
Hampir 2 jam kami berdiskusi. Delapan peserta yang hadir sepakat kekerasan apapun tidak dibenarkan. Apalagi berkedok agama. Kalaupun Ahmadiyah sesat, kenapa harus diatasi dengan kekerasan? Tentu kita bisa sadarkan mereka melalui forum dialog atau diskusi?
Penyerangan terhadap Ahmadiyah Cikeusik harusnya bisa diantisipasi polisi. Deden Sujana, anggota Ahmadiyah, sehari sebelum penyerangan, sudah memberi tahu polisi bahwa mereka akan diserang. Namun tidak ada tindakan antisipasi dari polisi. Kami sepakat, dalam hal ini, polisi tidak menjalankan dua tugas utama mereka; preventif dan represif. Mereka bahkan terkesan membiarkan penyerangan itu terjadi.
Aksi penyerangan Ahmadiyah oleh 1500 warga itu direkam oleh Arif, seorang Ahmadi. Dengan motif agar semua masyarakat tahu tindakan kekerasan yang dialami Ahmadiyah, Arif dan kawan-kawan memberikan video itu ke media TV One , namun ditolak. Metro TV bersedia memberitakan, tapi sayangnya hanya sepotong-sepotong. Ahmadiyah juga tidak senang dengan istilah "bentrokan" yang digunakan Metro TV untuk menggambarkan peristiwa itu. Lebih dari 1000 orang menyerang 25 orang Ahmadiyah? Apakah itu disebut bentrokan?
Karena kecewa dengan media mainstream, Arif dan kawan-kawan menghubungi Andreas Harsono, aktivis Human Rights Watch. Tim HRW dari Australia memeriksa keakuratan video. Setelah terbukti kebenarannya, Andreas mengupload video ke akun you tube miliknya. 
Bermunculanlah spekulasi dan persepsi dari media mainstram di negara ini, terutama TV One. Bukannya mencari tahu siapa saja penyerang dan pembunuh Ahmadiyah, mereka malah sibuk memberitakan siapa perekam dan pengupload video itu. Beberapa media mainstream juga menyimpulkan, penyerangan ini rekayasa pihak asing. Parahnya, tanpa konfirmasi dan verifikasi, mereka memberitakannya begitu saja. 
Kami sepakat media mainstream ini menerapkan jurnalisme "semu". Ini tidak dibenarkan dalam jurnalisme. Salah satu inti jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Seluruh peserta diskusi sepakat, sembilan elemen dasar jurnalisme harus diterapkan dalam setiap peliputan.


Bagaimana tanggapan Anda?

1 komentar:

  1. Intisari jurnalisme tak dilakukan para media. Spekulasi berkembang. Masyarakat terjebak.

    BalasHapus