Sabtu, 12 Februari 2011

Sembilan Elemen Berjurnalisme

Saya dan empat teman lain berjumpa Andreas Harsono di Pustaka Wilayah Soeman HS bulan Juli tahun lalu. Kami berdiskusi ringan sambil ngopi dan ngeteh. Bicarakan banyak hal. Ia cerita pengalaman meliput Aceh, soal Maluku, hingga Papua. Ia ajarkan bagaimana jadi wartawan sesungguhnya, ajarkan menulis panjang, dan membuka mata kami tentang kondisi kekinian media di Indonesia. Ia bilang akan terbitkan buku kumpulan naskah soal jurnalisme. Buku itu dalam proses desain cover. Isinya sudah utuh dan lengkap. Kami tawarkan launching di Pekanbaru, di Pustaka Soeman HS. Ia setuju.
 Dua hari sebelum Natal tahun lalu, saya terima buku itu. Judulnya ‘Agama’ Saya Adalah Jurnalisme. Judul yang menyengat. Ia berisi 34 naskah, sebagian besar sudah dimuat dalam blog http://andreasharsono.blogspot.com. Harsono membagi bukunya menjadi empat tema besar: laku wartawan (code of conduct), penulisan (writing), dinamika ruang redaksi (newsroom diversity), dan liputan (reporting). Tampilannya berupa surat, esai, maupun feature
Sebagian besar hasil bincangan kami di Soeman HS tersaji dalam buku ini. Soal Aceh, Harsono ungkapkan bagaimana sesungguhnya pandangan orang Aceh kepada kita, rakyat Indonesia. Ternyata mereka anggap kita asing. Mereka justru lebih welcome pada bangsa Amerika, Australia, Singapura, Jepang karena bantu usaha kemanusiaan di Aceh.
Buku ini juga ajarkan kita, para wartawan pemula, menjadi wartawan sesungguhnya. Ia bilang bisa berbahasa Inggris sangat penting bagi wartawan. Harsono jelaskan bagaimana seharusnya model pelatihan wartawan mahasiswa, penggunaan byline dan tagline, bagaimana menulis naskah panjang, seberapa penting pagar api dalam desain surat kabar. “Pagar api salah satu cerminan filsafat dasar jurnalisme,” katanya.
Kapan kita boleh pakai sumber anonim? Kapan wartawan harus mencuri? Apa wartawan perlu dipidana? Jawabannya ada dalam buku ber-cover merah terang setebal 268 halaman ini.
Andreas Harsono pernah bekerja sebagai wartawan The Jakarta Post, The Nation (Bangkok), The Star (Kuala Lumpur), dan Pantau (Jakarta). Di zaman orde baru, ia pernah melawan sensor dan bredel. Akibatnya ia dipecat dari The Jakarta Post, dituduh partisan partai politik. Nyatanya, menurut pengamatannya, kini tak sedikit konglomerat media jadi partisan, bahkan ikut partai politik. “Bagi saya sederhana, bila ingin bergiat di partai politik, harus lepaskan dulu embel-embel wartawan yang melekat padanya dan jangan pernah kembali lagi ke dunia wartawan.”
Baginya, itu sangat penting. Ia menyangkut keberpihakan media, di mana bobot editorial sering kalah dengan kebutuhan bisnis media. Menurut Harsono, kini semua “media Palmerah” sudah berpihak. Ia pakai terminologi media Palmerah untuk mengacu pada semua konglomerat media di Jakarta—kebetulan lokasinya memang berdekatan. Lebih dari 200 kantor media ada di sekitaran apartemen Jalan Palmerah Selatan, tempat Harsono tinggal. Dan tidak ada satupun yang independen. Mereka akan lakukan sensor internal agar informasi yang peka tidak muncul di masyarakat. Termasuk Kompas Gramedia, kelompok Tempo dan Jawa Pos, harian Media Indonesia, hingga stasiun televisi seperti Metro TV dan SCTV.
Sesungguhnya hanya ada dua syarat sederhana dalam menulis. “Kau harus tahu sekecil apapun yang kau tulis. Dan kau harus berani,” tulis Harsono pada naskah berjudul Menulis Perlu Tahu dan Berani. Tentu saja maksud kata berani di sini adalah berani mengungkapkan kebenaran. Katakan benar bila benar, dan salah bila itu salah.
Kebenaran merupakan satu dari sembilan elemen dasar jurnalisme. Bagi saya, buku ini mengajarkan kita bagaimana menerapkan prinsip sembilan elemen itu dalam menulis maupun dalam melakukan peliputan; Kebenaran fungsional. Loyalitas kepada warga. Disiplin verifikasi. Independensi. Memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Jurnalisme sebagai forum publik. Jurnalisme harus memikat dan relevan. Menjadikan berita proporsional dan komprehensif. Mendengarkan hati nurani sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar